Kriminalisasi Profesi Penasehat Hukum Melanggar Pasal 16 Tahun 2003

Jakarta.SERUNTING Post
Dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila ke- 5, Telah dijelaskan untuk masyarakat mendapatkan keadilan. Namun sepertinya hukum di NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) patut dipertanyakan bagi masyarakat yang memahami hukum terkhusus bagi masyarakat yang awam akan pengetahuan tentang hukum.
Menelisik tentang perkara Sengketa Perdata yang dialami oleh Kenny Wisha Sonda ( KWS ) tentang kontrak bisnis antara dua Perusahaan Energy Equity Epic (Sengkang ) Pty.Ltd. (EEES ) dan PT. Energi Maju Abadi ( EMA ) terkait distribusi keuntungan dari Blok Migas Sengkang.
Pembacaan nota pembelaan ( Pledoi ) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Tim Penasihat Hukum KWS (11/2).
Dalam pembelaannya Tim Penasihat Hukum menegaskan bahwa perkara ini bukan kasus Pidana, Melainkan sengketa perdata yang di “PAKSAKAN”. Dakwaan terhadap KWS dinilai sebagai bentuk Kriminalisasi terhadap profesi Penasihat Hukum yang berbahaya bagi kepastian Hukum di Indonesia.
Kasus ini menarik perhatian luas di kalangan Paktisi Hukum dan Komunitas bisnis karena berpotensi menciptakan Preseden ( penggunaan kasus dan putusan sebelumnya untuk membuat keputusan tentang kasus saat ini ) buruk. Jika seorang Penasihat Hukum bisa di Kriminalisasi hanya karena memberikan opini Hukum, Maka keamanan profesi Advokat dan Penasihat Hukum di Indonesia menjadi terancam.
Perkara KWS ini merupakan perbedaan penafsiran kontrak bisnis antara dua perusahaan, Pty.Ltd EEES dan PT.EMA terkait distribusi keuntungan dari Blok Migas Sengkang. Perkara ini seharusnya diselesaikan melalui Arbitrase ( penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral, yaitu individu atau arbitrase sementara (ad hoc) atau Perdata, Bukan dengan pemidanaan salah satu pihak. Tindakan ini berpotensi menjadi alat tekanan ( Bargaining Tool ) terhadap salah satu pihak dalam negoisasi bisnis.
KWS tidak pernah memiliki, Menguasai atau menikmati dana yang di klaim sebagai kerugian oleh PT.EMA. Seluruh transaksi keuangan dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara kedua perusahaan.
Fakta dipersidangan membuktikan bahwa PT.EMA baru mulai menerima pendapatan sejak Maret 2023 setelah kewajiban EEES kepada kreditor diselesaikan. Ini membuktikan bahwa tuduhan adanya kerugian sejak tahun 2018 tidak berdasar.
KWS bertindak sesuai dengan Profesinya sebagai Penasihat Hukum ( In – House Counsel ) yang hanya memberikan pandangan Hukum kepada kliennya, Bukan pengambil keputusan Perusahaan.
Seluruh keputusan bisnis tetap berada di tangan Direksi EEES oleh karena itu tidak ada dasar untuk menempatkan KWS sebagai pihak yang bertanggung jawab secara Pidana. Dalam hukum Perdata prinsip ” Respondeat Superior ” Pasal 1367 KUH Perdata ) menyatakan bahwa tanggungjawab hukum dalam keputusan bisnis ada pada manajemen perusahaan bukan Penasihat hukumnya.
UU Advokat memberikan hak imunitas bagi Advokat dalam memberikan jasa hukum. Oleh karena itu memproses KWS secara Pidana merupakan pelanggaran terhadap hak – hak profesional penasihat hukum.
KWS ditahan selama 45 hari diindikasi adanya kejanggalan sehingga mendapatkan penangguhan, meskipun tidak ada alasan kuat yang membenarkan tindakan tersebut.
Jaksa penuntut Umum gagal menghadirkan sejumlah saksi kunci dan Dokumen penting. Termasuk berita acara pemeriksaan ( BAP ) tanggal 10 Mei 2024 yang semestinya menjadi alat bukti utama dalam perkara ini.
Tuntutan JPU tidak proporsional dimana nilai yang diklaim sebagai kerugian perusahaan mencapai USD 31 juta, tetapi KWS hanya dituntut 2 bulan penjara. Hal ini menunjukan ketidaksesuaian antara dakwaan, Tuntutan dan realitas fakta di Persidangan.
Tim Penasihat Hukum meminta majelis hakim untuk memutus perkara ini secara objektif berdasarkan fakta hukum yang telah terungkap di persidangan. Tidak ada unsur hukum yang membenarkan kriminalisasi terhadap seorang penasihat hukum hanya karena ia menjalankan tugas profesionalnya.
Kasus ini bukan hanya tentang KWS tetapi juga menjadi peringatan bagi seluruh penasihat hukum, Advokat dan komunitas bisnis di indonesia.
Kami mengajak seluruh komunitas hukum, Akademisi serta masyarakat luas untuk mengawal kasus ini hingga tuntas demi memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan tidak digunakan sebagai alat tekanan terhadap profesi hukum.
Ketentuan mengenai larangan menuntut advokat sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) disusun untuk menjaga dan melindungi profesi advokat. Jika ketentuan a quo tidak dicantumkan, maka justru akan menimbulkan potensi-potensi contempt of court di luar pengadilan.( timsus)